Global Warning
Bahaya Riil Di Sekitar Kita
Ancaman global warming adalah nyata.
Penceramahan seperti ini tak arang sering nampak menjadi contoh histrionik atau
hiperbola yang disamarkan. Seperti siaran di radio kerapkali kita dengar: peace
on earth of earth in pieces. Apakah ancaman karbon sebegitu berbahayanya?
Kita sedang berada di persimpangan di mana proses ramifikasi dari apa yang kita
lakukan menjadi penentu kehidupan generasi selanjutnya. Perhelatan
masyarakat dalam mengantisipasi hal ini tidaklah diragukan lagi. Yang menjadi
pertanyaan utama adalah apakah penduduk Indonesia telah siap untuk mengikuti
trend "green life".
Karbondioksida (CO2)
Besarnya jumlah emisi yang dapat ditolerir oleh ibu
pertiwi telah dikalkulasi. Jurnal Nature memperhitungkan sebanyak 1
trilyun ton CO2 dapat kita biarkan terlepas ke udara selama periode tahun 2000
- 2050 supaya didapatkan 75% kemungkinan temperatur global rata-rata dapat
dipertahankan dalam 2 derajat C level pre-industrial. Ini adalah batas keselamatan,
di mana melebihinya dapat menyebabkan pergantian iklim (climate change)
yang irreversibel.
Sampai tahun 2006, dunia telah menggunakan sekitar 234
bilyun ton dari anggaran yang telah dikalkulasi. Hal ini meninggalkan kita
dengan sisa sekitar 760 bilyun ton. Apabila emisi per tahun meningkat sebesar
3,5% maka kita akan telah mengeluarkan sebanyak 1 trilyun ton CO2 sampai dengan
akhir tahun 2020. Pertumbuhan ini tidaklah sesuai dengan perhitungan dan kita
akan melepaskan surplus CO2 ke atmosfir. Apabila hal ini terjadi, temperatur
rata-rata global akan meningkat setidaknya 6-7 derajat C dalam abad ini,
apalagi di kutub.
CO2 adalah gas tidak berbau, tidak berwarna yang
bersifat sedikit asam dan tidak dapat terbakar. Akumulasi CO2 di atmosfir, seperti
yang telah kita ketahui, akan menyebabkan munculnya efek greenhouse. Hal
ini akan berakibat panas yang ada di dalam bumi tidaklah bisa keluar tapi panas
dari luar bumi akan tetap bisa mempenetrasi lapisan bumi. Panas yang terkumpul
akan menyebabkan perubahan iklim dan bahaya laten yang mengancam adalah
lelehnya es di kutub.
Spekulasi mengenai efek CO2 terhadap lingkungan sudah
dimulai sejak abad ke 19. Ilmuwan kenamaan seperti Arrhenius dan Chamberlain
telah memprediksikan pergeseran gradual dari temperatur iklim setelah jutaan
tahun dikarenakan timbunan gas-gas greenhouse di dalam bumi. CO2
memiliki andil kontribusi relatif sebesar 60% dari efek greenhouse saat
ini, sedangkan sisanya adalah CFC (Chlorofluorocarbon), ozone, nitrous
oxide dan methane.
Black Carbon
Selain CO2, karbon hitam atau black carbon yang
adalah hasil pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil, biofuel
dan biomass dalam bentuk karbon murni terikat senyawa yang dapat
meningkatkan panas bumi dengan penyerapan panas di atmosfir. Karbon hitam dapat
mengurangi kemampuan reflektifitas es dan meningkatkan absorpsi sinar matahari.
Hal ini akan mengkontribusi kepada meningkatnya suhu udara di dalam bumi.
Karbon hitam menduduki posisi nomor dua setelah CO2 dalam meningkatkan global
warming. Namun usia karbon hitam di atmosfir hanya beberapa hari sampai
minggu, di mana usia CO2 di atmosfir bisa mencapai 100 tahun.
Kendala dalam menangkal Global Warming
Global Dimming
Suatu fenomena yang diperkirakan dapat menangkal global
warming dinamakan global dimming. Global dimming adalah
peristiwa meningkatnya konsentrasi atmosferik aerosol-aerosol buatan manusia
seperti aerosol sulfat yang dapat mempengaruhi sifat-sifat awan dan menghalangi
sinar matahari mencapai permukaan bumi. Fenomena ini muncul sebagai produk
sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil. Sulfur dioksida dan nitrogen oxida
yang dilepaskan ke udara bereaksi dengan awan dan merefleksikan pancaran sinar
matahari yang hendak masuk ke bumi. Efek ini secara ironis menangkal efek global
warming. Contoh kegunaan global dimming antara lain di musim panas,
di mana banyak orang tua meninggal karena angin musim panas dan penurunan suhu
udara sangat diharapkan. Di lain pihak, global dimming telah menyebabkan
banyak kematian di Ethiopia pada tahun 1970 disebabkan oleh kekeringan.
Kekeringan ini muncul dikarenakan laut di bagian hemisfer utara bumi tak cukup
panas untuk formasi hujan.
Semenjak tahun 1970, telah diamati adanya reversal
dari efek global dimming karena negara-negara dengan aktif menyikapi
polutan-polutan yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Fenomena global dimming adalah suatu pertanyaan
bagi para ilmuwan. Awan yang mengandung sulfur dioksida yang ditimbulkan global
dimming dapat menangkal sebesar 50% dari global warming yang
disebabkan gas-gas greenhouse. Namun, perlu diingat, selain penurunan
suhu, global dimming juga mempunyai dampak samping yaitu hujan asam yang
dapat menimbulkan efek yang berbahaya bagi tumbuhan dan binatang laut, yaitu
kematian karena keadaan fisiologis yang tidak sesuai.
"Perseteruan" antara gas-gas greenhouse
yang menyebabkan global warming dan debu-debu vulkanik serta aerosol
troposferik yang menyebabkan global dimming adalah salah satu perdebatan
yang tak kunjung berakhir. Namun para ilmuwan juga mengatakan bahwa global
dimming hanya menutupi sementara bahaya sesungguhnya dari global warming.
Efek Rumah Kaca
Tidak hanya gas-gas greenhouse yang
mengkontribusi kepada global warming, namun elemen pemanas itu sendiri,
yaitu matahari, juga tentunya memegang peranan penting dalam hal ini.
Variabilitas sinar matahari yang dipengaruhi berbagai faktor, yaitu
variabilitas TSI (Total Solar Irradiance) menentukan keadaan iklim.
Salah satu faktor penentunya adalah siklus-solar-11-tahun ato sunspot cycle
yang merupakan fluktuasi periodis dari emisi sinar matahari yang sampai ke
bumi. Terdapat juga faktor-faktor aperiodik. Namun penelitian yang dilakukan
mulai dari akhir abad lalu menunjukkan bahwa peranan matahari sendiri dapat
dibilang kecil apabila diperbandingkan dengan aktifitas manusia yang berkaitan
dengan emisi gas-gas greenhouse. Simulasi yang pernah dilakukan antara
lain menyebutkan peranan debu vulkanik dan aerosol troposferik dalam
membalikkan efek yang ditimbulkan oleh gas-gas greenhouse, global
dimming, hanya menyelubungkan efek yang sebenernya dari gas-gas greenhouse.
Efek rumah kaca dapat menghancurkan keseimbangan ekosistem apabila tidak
ditangani.
Sudah mulai banyak organisasi yang berkecimpung di
dalam penanganan global warming. Pemerintah-pemerintah dari berbagai
negara di bawah UN juga aktif dalam menangani global warming. Hal ini
tercermin dari perjanjian Cancun yang disepakati pada tanggal 11 Desember 2010.
Signifikansi perjanjian ini terletak pada fakta bahwa perjanjian Cancun adalah
usaha kolektif terbesar yang dilakukan untuk mengurangi emisi dalam konteks
pencegahan pergantian iklim. Di dalamnya diatur usaha pemerintah 193 negara
dalam menangani pergantian iklim bagi negara berkembang dalam aspek finansial,
teknologi dan dukungan pembangunan kapasitas. Objektif dari perjanjian ini
adalah supaya kenaikan suhu global dapat ditekan di bawah dua derajat celcius.
Gaya Hidup
"Green life" atau skema hidup hijau
telah menjadi suatu trend yang niscaya akan memberikan dampak positif bagi
lingkungan. Orang-orang meningkatkan keperdulian mereka terhadap hal-hal kecil
yang mereka lakukan sehingga apapun yang mereka lakukan sebisa mungkin
mempunyai dampak yang positif terhadap lingkungan. Contoh yang paling jelas
adalah penggunaan barang-barang biodegradable seperti cangkir yang bisa
terdaur ulang dan kertas daur ulang untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
energi dan kesadaran emisi.
Dalam memperhatikan hal-hal yang menunjang skema hidup
hijau, kita senantiasa terbentur dengan masalah biaya. Penggunaan barang-barang
biodegradable tak ayal memakan ongkos yang terkadang bisa jauh lebih mahal
daripada penggunaan barang normal. Kenyataaan ini membuat pengejahwantahan
hidup hijau di Indonesia menjadi lebih sulit karena besarnya gap dalam strata
sosial yang ada sekarang ini. Bagi kalangan atas, menunjang hidup hijau
tidaklah menjadi suatu masalah, namun bagi kalangan menengah ke bawah dapat
menimbulkan pergolakan batin terhadap perlunya penerapan skema hidup hijau
tersebut.
Penggunaan barang-barang biodegradable dapat
mengkontribusi dalam aspek pelepasan CO2 ke udara yang ditimbulkan oleh
pembakaran sisa sampah barang terkonsumsi. Apabila sampah atau barang sisa
penggunaan tidak perlu dibakar, maka sampah cukup dibiarkan terurai pada tempat
yang telah disediakan.
Keperdulian masyarakat terhadap hal ini pun seringkali
tidak cukup untuk menciptakan adanya partisipasi aktif. Isu global warning
terkadang dirasa sangat abstrak dan terlalu jauh untuk dapat diraba.
Artis-artis dari negara-negara Skandinavia seperti Sweden, Denmark kerapkali
mengadakan pameran-pameran visual untuk berusaha mendekatkan masyarakat dunia
dengan isu global warming. Hal ini sudah mulai dicanangkan di Indonesia
walaupun partisipasi aktif masyarakatnya maupun gaung kegiatan di antara
besarnya populasi Indonesia belumlah terasa.
Siapkah kita ?
Dalam keseharian kita, acapkali kita mengabaikan
pelbagai hal-hal kecil yang mengingatkan kita akan waktu sebelum globalisasi
industri dimana belum banyak kendaraan bermotor dan lingkup industri yang
menjadi sumber emisi karbondioksida. Dalam menggunakan benda-benda mekanik
seperti rautan pensil berkaca ataupun kegiatan bersepeda kita diingatkan bahwa polusi
lingkungan bermula dari hiperbolisasi kegiatan industri. Namun benda-benda yang
kita gunakan sehari-hari adalah hasil industri. Suatu pertanyaan besar mengenai
kemajuan suatu bangsa apabila diukur dari pesatnya laju industri adalah secara
tak langsung deteriorasi yang perlahan. Kesadaran kita sebagai anggota dari
masyarakat sangatlah dituntut. Seringkali kita menganggap sepele keadaan alam
sekitar kita. Hutan ditebang untuk kemajuan industri, lahan bekas pertambangan
dibiarkan begitu saja.
Apa yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan mental
untuk pada saatnya mengkontribusi kepada inisiatif-inisiatif yang diambil oleh
mayoritas. Hal-hal seperti bike to work dengan kesadaran mengurangi
emisi demi udara yang sehat, pembuatan lubang biosfer untuk mengolah sampah
organik rumah tangga menjadi pupuk adalah contoh positif masyarakat menuju
skema hidup hijau. Apakah kita secara mental telah siap untuk merubah sikap dan
pola hidup dalam menghadapi global warming ?
Apa yang bisa kita lakukan untuk Ibu Pertiwi?
The way we think about her
Apakah ibu pertiwi itu bagi kita? Di suatu tempat di
mana kita lahir hidup dan mati, adakah kita perduli?
The way we feel her
Adakah keterikatan batin antara kita dengan tempat
tinggal kita?Apabila dibuat perombakan mendadak terhadap daerah rumah tinggal
anda, apakah perasaan anda akan tersentuh?
The way we live on her
Sudahkah kita memperhatikan cara kita bersikap di atas
ibu pertiwi? Apakah balasan yang setimpal yang dapat kita beri baginya?
Pertanyaan-pertanyaan kontemplatif di atas adalah cara
kongkrit kita bersiap diri. Menyimak pikiran para petinggi dunia, kita dapat
memahami adanya kekhawatiran para ahli terhadap masalah ini. Dengan
meningkatnya pembelajaran kepada publik diharapkan kekhawatiran ini akan berkurang
dan masyarakat akan dapat menerima bahwa bahaya global warming tidaklah
dilebih-lebihkan. Mengikutsertakan pola pikir skema hidup hijau dalam
keseharian kita semua baik generasi muda mau pun generasi tua akan secara tidak
langsung memajukan modernisasi cara pikir karena ke arah situlah trend masa
depan kita menuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar