Jumat, 04 Mei 2012

Global Warning


Global Warning

Bahaya Riil Di Sekitar Kita
Ancaman global warming adalah nyata. Penceramahan seperti ini tak arang sering nampak menjadi contoh histrionik atau hiperbola yang disamarkan. Seperti siaran di radio kerapkali kita dengar: peace on earth of earth in pieces. Apakah ancaman karbon sebegitu berbahayanya? Kita sedang berada di persimpangan di mana proses ramifikasi dari apa yang kita lakukan menjadi penentu kehidupan generasi selanjutnya.  Perhelatan masyarakat dalam mengantisipasi hal ini tidaklah diragukan lagi. Yang menjadi pertanyaan utama adalah apakah penduduk Indonesia telah siap untuk mengikuti trend "green life".

Karbondioksida (CO2)
Besarnya jumlah emisi yang dapat ditolerir oleh ibu pertiwi telah dikalkulasi. Jurnal Nature memperhitungkan sebanyak 1 trilyun ton CO2 dapat kita biarkan terlepas ke udara selama periode tahun 2000 - 2050 supaya didapatkan 75% kemungkinan temperatur global rata-rata dapat dipertahankan dalam 2 derajat C level pre-industrial. Ini adalah batas keselamatan, di mana melebihinya dapat menyebabkan pergantian iklim (climate change) yang irreversibel.

Sampai tahun 2006, dunia telah menggunakan sekitar 234 bilyun ton dari anggaran yang telah dikalkulasi. Hal ini meninggalkan kita dengan sisa sekitar 760 bilyun ton. Apabila emisi per tahun meningkat sebesar 3,5% maka kita akan telah mengeluarkan sebanyak 1 trilyun ton CO2 sampai dengan akhir tahun 2020. Pertumbuhan ini tidaklah sesuai dengan perhitungan dan kita akan melepaskan surplus CO2 ke atmosfir. Apabila hal ini terjadi, temperatur rata-rata global akan meningkat setidaknya 6-7 derajat C dalam abad ini, apalagi di kutub.

CO2 adalah gas tidak berbau, tidak berwarna yang bersifat sedikit asam dan tidak dapat terbakar. Akumulasi CO2 di atmosfir, seperti yang telah kita ketahui, akan menyebabkan munculnya efek greenhouse. Hal ini akan berakibat panas yang ada di dalam bumi tidaklah bisa keluar tapi panas dari luar bumi akan tetap bisa mempenetrasi lapisan bumi. Panas yang terkumpul akan menyebabkan perubahan iklim dan bahaya laten yang mengancam adalah lelehnya es di kutub.

Spekulasi mengenai efek CO2 terhadap lingkungan sudah dimulai sejak abad ke 19. Ilmuwan kenamaan seperti Arrhenius dan Chamberlain telah memprediksikan pergeseran gradual dari temperatur iklim setelah jutaan tahun dikarenakan timbunan gas-gas greenhouse di dalam bumi. CO2 memiliki andil kontribusi relatif sebesar 60% dari efek greenhouse saat ini, sedangkan sisanya adalah CFC (Chlorofluorocarbon), ozone, nitrous oxide dan methane.

Black Carbon
Selain CO2, karbon hitam atau black carbon yang adalah hasil pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil, biofuel dan biomass dalam bentuk karbon murni terikat senyawa yang dapat meningkatkan panas bumi dengan penyerapan panas di atmosfir. Karbon hitam dapat mengurangi kemampuan reflektifitas es dan meningkatkan absorpsi sinar matahari. Hal ini akan mengkontribusi kepada meningkatnya suhu udara di dalam bumi. Karbon hitam menduduki posisi nomor dua setelah CO2 dalam meningkatkan global warming. Namun usia karbon hitam di atmosfir hanya beberapa hari sampai minggu, di mana usia CO2 di atmosfir bisa mencapai 100 tahun.

Kendala dalam menangkal Global Warming
Global Dimming
Suatu fenomena yang diperkirakan dapat menangkal global warming dinamakan global dimming. Global dimming adalah peristiwa meningkatnya konsentrasi atmosferik aerosol-aerosol buatan manusia seperti aerosol sulfat yang dapat mempengaruhi sifat-sifat awan dan menghalangi sinar matahari mencapai permukaan bumi. Fenomena ini muncul sebagai produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil. Sulfur dioksida dan nitrogen oxida yang dilepaskan ke udara bereaksi dengan awan dan merefleksikan pancaran sinar matahari yang hendak masuk ke bumi. Efek ini secara ironis menangkal efek global warming. Contoh kegunaan global dimming antara lain di musim panas, di mana banyak orang tua meninggal karena angin musim panas dan penurunan suhu udara sangat diharapkan. Di lain pihak, global dimming telah menyebabkan banyak kematian di Ethiopia pada tahun 1970 disebabkan oleh kekeringan. Kekeringan ini muncul dikarenakan laut di bagian hemisfer utara bumi tak cukup panas untuk formasi hujan.

Semenjak tahun 1970, telah diamati adanya reversal dari efek global dimming karena negara-negara dengan aktif menyikapi polutan-polutan yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Fenomena global dimming adalah suatu pertanyaan bagi para ilmuwan. Awan yang mengandung sulfur dioksida yang ditimbulkan global dimming dapat menangkal sebesar 50% dari global warming yang disebabkan gas-gas greenhouse. Namun, perlu diingat, selain penurunan suhu, global dimming juga mempunyai dampak samping yaitu hujan asam yang dapat menimbulkan efek yang berbahaya bagi tumbuhan dan binatang laut, yaitu kematian karena keadaan fisiologis yang tidak sesuai.

"Perseteruan" antara gas-gas greenhouse yang menyebabkan global warming dan debu-debu vulkanik serta aerosol troposferik yang menyebabkan global dimming adalah salah satu perdebatan yang tak kunjung berakhir. Namun para ilmuwan juga mengatakan bahwa global dimming hanya menutupi sementara bahaya sesungguhnya dari global warming.

Efek Rumah Kaca
Tidak hanya gas-gas greenhouse yang mengkontribusi kepada global warming, namun elemen pemanas itu sendiri, yaitu matahari, juga tentunya memegang peranan penting dalam hal ini. Variabilitas sinar matahari yang dipengaruhi berbagai faktor, yaitu variabilitas TSI (Total Solar Irradiance) menentukan keadaan iklim. Salah satu faktor penentunya adalah siklus-solar-11-tahun ato sunspot cycle yang merupakan fluktuasi periodis dari emisi sinar matahari yang sampai ke bumi. Terdapat juga faktor-faktor aperiodik. Namun penelitian yang dilakukan mulai dari akhir abad lalu menunjukkan bahwa peranan matahari sendiri dapat dibilang kecil apabila diperbandingkan dengan aktifitas manusia yang berkaitan dengan emisi gas-gas greenhouse. Simulasi yang pernah dilakukan antara lain menyebutkan peranan debu vulkanik dan aerosol troposferik dalam membalikkan efek yang ditimbulkan oleh gas-gas greenhouse, global dimming, hanya menyelubungkan efek yang sebenernya dari gas-gas greenhouse. Efek rumah kaca dapat menghancurkan keseimbangan ekosistem apabila tidak ditangani.

Sudah mulai banyak organisasi yang berkecimpung di dalam penanganan global warming. Pemerintah-pemerintah dari berbagai negara di bawah UN juga aktif dalam menangani global warming. Hal ini tercermin dari perjanjian Cancun yang disepakati pada tanggal 11 Desember 2010. Signifikansi perjanjian ini terletak pada fakta bahwa perjanjian Cancun adalah usaha kolektif terbesar yang dilakukan untuk mengurangi emisi dalam konteks pencegahan pergantian iklim. Di dalamnya diatur usaha pemerintah 193 negara dalam menangani pergantian iklim bagi negara berkembang dalam aspek finansial, teknologi dan dukungan pembangunan kapasitas. Objektif dari perjanjian ini adalah supaya kenaikan suhu global dapat ditekan di bawah dua derajat celcius.

Gaya Hidup
"Green life" atau skema hidup hijau telah menjadi suatu trend yang niscaya akan memberikan dampak positif bagi lingkungan. Orang-orang meningkatkan keperdulian mereka terhadap hal-hal kecil yang mereka lakukan sehingga apapun yang mereka lakukan sebisa mungkin mempunyai dampak yang positif terhadap lingkungan. Contoh yang paling jelas adalah penggunaan barang-barang biodegradable seperti cangkir yang bisa terdaur ulang dan kertas daur ulang untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan kesadaran emisi.

Dalam memperhatikan hal-hal yang menunjang skema hidup hijau, kita senantiasa terbentur dengan masalah biaya. Penggunaan barang-barang biodegradable tak ayal memakan ongkos yang terkadang bisa jauh lebih mahal daripada penggunaan barang normal. Kenyataaan ini membuat pengejahwantahan hidup hijau di Indonesia menjadi lebih sulit karena besarnya gap dalam strata sosial yang ada sekarang ini. Bagi kalangan atas, menunjang hidup hijau tidaklah menjadi suatu masalah, namun bagi kalangan menengah ke bawah dapat menimbulkan pergolakan batin terhadap perlunya penerapan skema hidup hijau tersebut.

Penggunaan barang-barang biodegradable dapat mengkontribusi dalam aspek pelepasan CO2 ke udara yang ditimbulkan oleh pembakaran sisa sampah barang terkonsumsi. Apabila sampah atau barang sisa penggunaan tidak perlu dibakar, maka sampah cukup dibiarkan terurai pada tempat yang telah disediakan.

Keperdulian masyarakat terhadap hal ini pun seringkali tidak cukup untuk menciptakan adanya partisipasi aktif. Isu global warning terkadang dirasa sangat abstrak dan terlalu jauh untuk dapat diraba. Artis-artis dari negara-negara Skandinavia seperti Sweden, Denmark kerapkali mengadakan pameran-pameran visual untuk berusaha mendekatkan masyarakat dunia dengan isu global warming. Hal ini sudah mulai dicanangkan di Indonesia walaupun partisipasi aktif masyarakatnya maupun gaung kegiatan di antara besarnya populasi Indonesia belumlah terasa.

Siapkah kita ?
Dalam keseharian kita, acapkali kita mengabaikan pelbagai hal-hal kecil yang mengingatkan kita akan waktu sebelum globalisasi industri dimana belum banyak kendaraan bermotor dan lingkup industri yang menjadi sumber emisi karbondioksida. Dalam menggunakan benda-benda mekanik seperti rautan pensil berkaca ataupun kegiatan bersepeda kita diingatkan bahwa polusi lingkungan bermula dari hiperbolisasi kegiatan industri. Namun benda-benda yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil industri. Suatu pertanyaan besar mengenai kemajuan suatu bangsa apabila diukur dari pesatnya laju industri adalah secara tak langsung deteriorasi yang perlahan. Kesadaran kita sebagai anggota dari masyarakat sangatlah dituntut. Seringkali kita menganggap sepele keadaan alam sekitar kita. Hutan ditebang untuk kemajuan industri, lahan bekas pertambangan dibiarkan begitu saja.  

Apa yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan mental untuk pada saatnya mengkontribusi kepada inisiatif-inisiatif yang diambil oleh mayoritas. Hal-hal seperti bike to work dengan kesadaran mengurangi emisi demi udara yang sehat, pembuatan lubang biosfer untuk mengolah sampah organik rumah tangga menjadi pupuk adalah contoh positif masyarakat menuju skema hidup hijau. Apakah kita secara mental telah siap untuk merubah sikap dan pola hidup dalam menghadapi global warming ?

Apa yang bisa kita lakukan untuk Ibu Pertiwi?
The way we think about her
Apakah ibu pertiwi itu bagi kita? Di suatu tempat di mana kita lahir hidup dan mati, adakah kita perduli?

The way we feel her
Adakah keterikatan batin antara kita dengan tempat tinggal kita?Apabila dibuat perombakan mendadak terhadap daerah rumah tinggal anda, apakah perasaan anda akan tersentuh?

The way we live on her
Sudahkah kita memperhatikan cara kita bersikap di atas ibu pertiwi? Apakah balasan yang setimpal yang dapat kita beri baginya?

Pertanyaan-pertanyaan kontemplatif di atas adalah cara kongkrit kita bersiap diri. Menyimak pikiran para petinggi dunia, kita dapat memahami adanya kekhawatiran para ahli terhadap masalah ini. Dengan meningkatnya pembelajaran kepada publik diharapkan kekhawatiran ini akan berkurang dan masyarakat akan dapat menerima bahwa bahaya global warming tidaklah dilebih-lebihkan. Mengikutsertakan pola pikir skema hidup hijau dalam keseharian kita semua baik generasi muda mau pun generasi tua akan secara tidak langsung memajukan modernisasi cara pikir karena ke arah situlah trend masa depan kita menuju.

SUMBER   :
Raymond Mulyarahardja. Jakarta, 23 Maret 2011. http://www.e-psikologi.com/epsi/lingkungan.asp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar