Jumat, 04 Mei 2012

Moral Exclusion dan Rokok


Moral Exclusion dan Rokok


Terlalu Permisif
Masyarakat Indonesia sangat permisif dalam masalah merokok, meskipun telah memiliki Pasal 24 PP no.81/ 1999 yang menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok, dan Peraturan Pemerintah no.38 th.2000 yang menyatakan bahwa rokok tidak boleh diiklankan di media elektronik antara pukul 05.00-21.30 WIB, (Kompas,2001).
Seorang konsultan WHO dan Australia, Dr. Matthew Allen, pada bulan April 2001 menyatakan bahwa tingginya tingkat rokok dan penerimaan terhadap rokok pasif merupakan hambatan utama dan pertama bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia. Allen menyatakan terdapat 7 (tujuh) hambatan bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia, yaitu;
1. Tidak adanya pengetahuan di kalangan perokok tentang resiko merokok
2. Tidak cukupnya pengetahuan badan-badan pemerintah dan LSM, yaitu pengendalian rokok bagi kesehatan dan perekonomian, serta taktik-taktik menyesatkan yang dipakai oleh industri rokok
3. Tidak adanya komitmen oleh para politisi dan departemen pemerintah
4. Adanya kerancuan wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Departemen Kesehatan dan Departemen Kesejahteraan Sosial
5. Kuatnya sektor industri rokok
6. Desentralisasi dan tidak adanya kerangka kerja di daerah untuk mengimplementasikan perangkat pengendalian rokok
7. Tak ada dana untuk membuat kampanye tandingan dan program pengendalian lainnya. (Kompas, 2001)
Melihat perkembangan kebiasaan merokok Indonesia yang semakin lama semakin parah, nampaknya harapan untuk menanggulangi masalah ini semakin tipis, namun sebenarnya hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan karena beberapa negara telah menerapkan aturan cukup keras baik bagi para perokok maupun industri rokok. Singapura menerapkan ruang publik sebagai kawasan bebas rokok, mesin penjual rokok dinyatakan ilegal dan melarang perusahaan rokok menjadi sponsor even publik (Oskamp & Schultz, 1998)
Negara-negara Unieropa mencanangkan kampanye anti rokok dengan slogan; "Feel Free to Say No!" yang diluncurkan bertepatan dengan momen piala dunia 2002 serta didukung sejumlah pemain bola terkenal seperti Luis Figo, Zinadine Zidane, Paolo Maldini,dll. Sementara dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau sedunia (31 Mei 2002), Meksiko mengumumkan akan melarang semua iklan rokok dari radio dan televisi mulai 2003. Secara perlahan-lahan penjualan rokok di toko-toko obat akan dikurangi dan peringatan bahwa bahaya rokok akan diwajibkan untuk dipasang di depan, bukan di belakang seperti sekarang. (Kompas, 2002)
Jurus Kelit Industri Rokok
Bagaimana perokok dan industri rokok dapat terus "hidup" dan berkembang mengambil ruang gerak dan nafas di Indonesia ?
Moral Exclusion
Jika moral berada dalam ruang keadilan, moral exclusion sangat berbeda (kontras), yang merupakan rasionalisasi, jastifikasi kesalahan atau sesuatu yang membahayakan. Dalam konflik lingkungan, moral exclusion sulit untuk dideteksi, hal ini disebabkan juga oleh adanya dukungan konvensi sosial. Analisa gejala moral exclusion dalam konflik lingkungan mengindikasikan bahwa moral exclusion dapat digolongkan dalam tiga bentuk penyangkalan (denial); simptom moral exclusion, yaitu;
1. Outcome Severity (hasil rumit)
a. disbenefit (kerugian berat); pihak tertentu (negara atau perusahaan) menolak penanggulangan masalah tertentu dengan berkelit hal tersebut dapat mendatangkan kerugian besar
b. sains; memanfaatkan sains untuk tujuan tertentu, menjadikan sains sebagai alasan, misalnya perlunya waktu untuk meneliti masalah tertentu.
2. Stakeholder
a. outsider; menempatkan diri pada pihak lawan (contoh; menganggap peraturan sebagai lawan)
b. ekstrimis; pihak yang menetang sesuatu secara radikal
3. Keterlibatan Diri
a. self exclusion; mengelak tanggung jawab personal (contoh; "Bukan hanya saya yang merokok di ruang ini.")
b. Reluctant participation; pihak tertentu menolak berpartisipasi dalam penanggulangan masalah polusi udara namun tetap menggunakan alasan kemanusiaan dalam usahanya (contoh; industri rokok menjadi sponsor even olahraga) (Opotow & Weiss, 2000)
Riset dalam Psikologi Sosial Seputar Perilaku Merokok
Banyak riset perilaku merokok dilakukan dalam psikologi sosial, Surgeon General Report 1964 menyatakan bahwa faktor psikologi merupakan faktor krusial untuk memahami rokok.
Tahapan seseorang menjadi perokok tetap (Laventhal & Cleary;1980, Flay;1993);
1. Persiapan; sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan bayangan tentang seperti apa rokok itu.
2. Inisiasi (initiation); reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. (Sayangnya hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok)
3. Menjadi perokok; melibatkan suatu proses "concept formation" , seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya.
4. Perokok tetap; terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku merokok.
Faktor Psikologis;
1. Kebiasaan (terlepas dari motif positif atau negatif)
2. Untuk menghasilkan reaksi emosi positif (kenikmatan, dsb)
3. Untuk mengurangi reaksi emosi negatif (cemas, tegang, dsb)
4. Alasan sosial (penerimaan kelompok)
5. Ketergantungan (memenuhi keinginan/ kebutuhan dari dalam diri) (Oskamp & Schultz, 1998)
Proses Biologis
Nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang. (Mutadin, 2002)
Lemahnya kesadaran dan pengetahuan perokok
Kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi, jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka. Dengan begitu, mereka juga menyamarkan "kesalahan" dan "penyebaran racun" yang dilakukan.
Industri rokok mempunyai kekuatan finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak iklan rokok melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan suasana club disko.
Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan, sementara rokok itu sendiri menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi, sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.
Sementara industri rokok bersembunyi dibalik berbagai slogan "mulia" nya, perokok pun tidak ketinggalan menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi perokok untuk berkelit, "Tempat umum kok, saya punya hak," dan ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.
Tempat Merokok = Mencerminkan Pola Perilaku Perokok
Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam merokok.
1. Merokok di ruang publik
- Kelompok homogen (sesama perokok); Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.
- Kelompok heterogen (merokok ditengah orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar "racun" pada orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat bersifat pribadi
- kantor atau kamar tidur pribadi; tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gellisah yang mencekam
- toilet; tergolong orang suka berfantasi. (Mu'tadin,2002)
Perilaku industri rokok dan perokok yang merugikan orang lain seharusnya dapat diminimalisasi seperti di beberapa negara seperti Singapura, Meksiko dan Unieropa, namun agaknya pemerintah masih "setengah hati" dalam menyelamatkan nyawa orang banyak.
Salah satu alasan utama pemerintah tidak melarang keras rokok adalah karena pertimbangan besarnya kontribusi dari pajak industri tersebut. Amerika Serikat (1990) mengumpulkan lebih dari 4 $ milyar dari pajak rokok dari 16 sen pajak dalam tiap pak (20 batang), Perancis (1992) mengumpulkan 2.3$ milyar dari pajak rokok (Oskamp & Schultz,1998)
Indonesia sendiri telah mempunyai peraturan tentang rokok, kini tergantung pada pemerintah untuk disiplin dan konsisten menjalankannya, disamping usaha masyarakat untuk lebih menggaungkan kampanye anti rokok serta sikap asertif (tegas) masyarakat terhadap perokok terutama di ruang publik. Perlu upaya ekstra keras dan strategi yang tepat untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa merokok itu memang hak asasi bagi perokok, namun udara bersih yang tak dicemari asap rokok juga adalah hak asasi manusia (HAM) (Kompas, 2001)
 
 
SUMBER :
RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi. Jakarta, 06 Februari 2006. http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial.asp

Jangan Katakan YA jika ingin berkata TIDAK


Jangan Katakan YA jika ingin berkata TIDAK


Format Komunikasi Ideal
Kalau kita mengikuti kursus atau membaca buku komunikasi, biasanya kita akan didoktrin untuk belajar mengatakan TIDAK pada hal-hal yang memang tidak kita kehendaki. Slogan yang kerap dipakai adalah: "jangan mengatakan YA jika Anda ingin mengatakan TIDAK". Secara teori, ini memang format komunikasi yang ideal. Kenapa?
 Kalau kita mengatakan YA, padahal hati kita sebetulnya ingin mengatakan TIDAK, maka YA yang kita ucapkan itu menyisakan ganjalan di hati. Bentuknya antara lain: menggerutu, merasa diri sebagai korban, atau akan menyimpan kenangan negatif terhadap orang yang memaksa kita itu. Perasaan seperti ini akan menjadi perampok kebahagiaan.
 Bahkan jika itu sudah menjadi kebiasaan / sifat, maka ungkapan YA di situ akan menjadi titik lemah. Ini karena ucapan YA di situ, lebih-lebih jika kita seorang pemimpin, pembuat kebijakan atau orang yang diserahi tanggung jawab, akan membawa konsekuensi yang panjang dan luas, misalnya konsekuensi waktu, biaya, tenaga, dan lainnya. Ya-nya kita akan menjadi incaran pemanfaatan.
 Pada tingkat pribadi, kalau kita terlalu sering sudah terlanjur mengatakan YA, padahal kita menginginkan TIDAK, itu bisa menimbulkan gangguan internal atau bahkan bisa sampai taraf penyimpangan. Hal itu sudah mencabut fokus dari sesuatu yang semestinya kita tekuni, hanya karena adanya tuntutan untuk melayani. Ini karena, ungkapan YA itu bisa mengundang konsekuensi dalam bentuk “tyranny of oughts” (tuntutan yang mengharuskan kita) atau menghilangkan self-connectedness (keterkaitan dengan diri) yang dapat melemahkan kekuatan dan kemampuan.
 Sesuaikah Dengan Kultur Kita?
Meski secara teori sangat mudah dipahami dan diamini,  tapi dalam prakteknya kerap memunculkan pertanyaan. Misalnya,  apa bisa itu kita terapkan di kantor? Apa ada atasan atau organisasi yang mau mendengarkan kata TIDAK dari kita?  Apa bisa itu kita terapkan pada orang yang tingkat hubungannya dengan kita sudah memasuki level intimasi personal (semacam sahabat karib, teman dekat, mitra yang sudah seperti saudara, dll) dan apakah kejujuran selalu harus di nomerduakan.
 Seorang kenalan saya yang sudah merasakan betapa slogan di atas tak bisa dipraktekkan sembarangan di kantor langsung menyimpulkan bahwa ”Don’t say YES if you want to say NO” itu adalah budaya Barat yang tidak bisa begitu saja di praktekkan di Timur. Teman saya ini membeberkan sejumlah contoh. Misalnya, kata You di Barat itu digunakan juga untuk seorang anak kepada ayahnya. Coba kalau itu diterapkan di Timur, apa kata orang?   
 Dipikir-pikir, kenalan saya ini ada benarnya juga. Terlalu frontal berterus terang dengan kata TIDAK di tempat kerja atau dalam hubungan pertemanan bisa mengundang pelabelan eksplisit atau implisit yang dapat berdampak kurang sehat pada hubungan kita. Ini misalnya antara lain:
 Pertama, kita akan dicap sebagai orang yang resistant (keras kepala / maunya sendiri / sulit didekati). Tempat kerja membutuhkan orang yang fleksibel dan supportive terhadap perubahan agar bisa berperan optimal. Kalau kita resisten dengan sikap yang serba-TIDAK, tentu akan ada dampak tersendiri. Lebih-lebih itu kita nyatakan tanpa memandang orang dan kebutuhan.
 Ki Hajar Dewantoro menawarkan panduan yang fleksibel dan supportive  yang bisa di terapkan dalam kehidupan, baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga. Apa panduannya? Ki Hajar merumuskan, kalau kita depan, kita harus menjadi contoh / teladan. Kalau kita di tengah, kita harus menjadi orang yang memunculkan inisiatif-inisiatif positif. Tapi kalau kita di belakang, kita harus menjadi orang yang menyemangati. Jadi, di kultur Indonesia, mengatakan TIDAK juga butuh kebijaksanaan, kedewasaan serta kepekaan roso; tahu kapan, dimana, bagaimana mengatakan TIDAK dan apa implikasinya.  Sebaliknya, TIDAK yang dinyatakan membabi buta, justru mencerminkan ketidakmatangan pribadi kita.
 Kedua, kita akan dicap sebagai orang yang konfrontatif (tidak bersahabat, atau sulit diajak kerjasama). Cap ini mungkin akan menjadi ganjalan bagi karier kita. Kenapa? Dalam prakteknya, tempat kerja itu tak hanya butuh kompetensi kita semata. Selain kompetensi, mereka juga membutuhkan semangat kooperasi atau teamwork. Ini pasti tak hanya butuh YA dan TIDAK secara hitam putih. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, atau menolak informasi yang bertentangan dengan pengalaman kita, bisa jadi berbahaya karena bisa berarti kita menutup pintu perubahan buat diri sendiri. Banyak orang jadi radikal karena begitu yakin dan percaya diri bahwa YA atau TIDAK miliknya, sudah di dasari oleh logika yang dilandasi nilai universal.  
 Teamwork sangat dinamis. Adakalanya butuh kooperasi, butuh konsensus, butuh konsesi, dan butuh kompromi. Bahkan dalam transaksi bisnis pun leluhur kita melarang secara gegabah mengatakan TIDAK terhadap transaksi yang tidak menguntungkan. Adakalanya kita hanya untung di relasi meskipun kita tidak untung di transaksi, untung ing konco meski tak untung ing bondo.
 Ketiga, sudah banyak cerita dari kisah nyata  betapa sikap saklek mempersulit  karir.  Apalagi, jika kita masuk dalam organisasi yang iklim politiknya sangat kental. Meski dunia kerja itu dikenal sangat mendewakan kompetensi, tapi dalam prakteknya di beberapa hal, tak sedikit keputusan yang dilandasi oleh kalkulasi personal yang bukan lagi kompetensi.
 Jika sudah bicara kalkulasi personal ini, maka rumus yang akan dipakai secara alam bawah sadar adalah: orang akan lebih cenderung melibatkan orang lain yang menurut pengetahuannya lebih loyal, lebih mendukung, atau lebih siap untuk mengatakan YA. Kalau kita terlalu sering mengatakan TIDAK secara sembarangan, bisa-bisa akan membahayakan karier kita. Sebaliknya, mengatakan YA tapi sebenarnya TIDAK, tidak bisa dianggap sebagai pengejawantahan pepatah jawa, ”wani ngalah luhur wekasane”, yang artinya, berani mengalah mulia budi pekertinya, mulia di kemudian hari.
 Lebih Pada Keahlian
Ternyata, untuk bisa mengatakan TIDAK yang baik itu bukan soal kita produk budaya Barat atau Timur, suku Jawa, Sunda atau Sumatra, tetapi lebih karena keahlian. Karena itu, dalam literaturnya, kata TIDAK itu dibedakan menjadi berbagai macam, antara lain:
 Kata TIDAK yang asertif. Ini adalah kata TIDAK yang kita ucapkan dengan bahasa / ungkapan yang tidak menganggu hubungan, dengan cara yang baik (sesuai kultur / ma’ruuf), dan didukung dengan alasan yang kuat. Alasan ini mungkin berupa pertimbangan pribadi, kebaikan atau kemaslahatan. Kata TIDAK yang asertif ini bisa saja tidak harus ternyatakan dalam kalimat secara vulgar, tergantung dengan siapa kita berbicara.
 Kata TIDAK yang asertif inilah yang merupakan produk dari keahlian sehingga dinilai paling baik. Keahlian di sini merujuk pada pengertian bahwa tidak ada orangtua, suku, atau bangsa yang mampu melahirkan bayi dengan bawaan langsung asertif secara otomatik. Orang menjadi asertif karena belajar, entah dengan belajar dari buku, belajar dari kesalahan, atau belajar dengan melihat orang lain.
 Kata TIDAK yang agresif-egoistik. Kata TIDAK seperti ini terlontarkan secara agresif (menyerang, menyalahkan, atau menguasai) dan itu dilandasi motif untuk memenangkan kepentingan pribadi yang egois, tanpa mempertimbangkan suasana batin orang lain. Kata TIDAK seperti ini tidak seluruhnya jelek. Dalam beberapa hal tertentu dan terhadap orang tertentu, terkadang ini dibutuhkan. Cuma, secara umum, kata TIDAK seperti ini kurang cocok digunakan untuk / terhadap orang yang punya kedekatan tertentu dengan kita, entah itu kedekatan personal atau profesional, lebih-lebih kedekatan istimewa.
 Ada juga yang disebut kata TIDAK yang pasif-manipulatif. Kata ini mungkin kita ucapkan dengan kata TIDAK atau YA, tetapi tujuan kita mungkin hanya untuk memanipulasi, atau terungkapkan dengan cara yang politis dan manipulatif. Secara umum, lebih-lebih kepada orang yang punya kedekatan tertentu dengan kita, YA atau TIDAK yang manipulatif dan politis itu jelas tidak baik untuk hubungan jangka panjang. Cepat atau lambat, pertentangan di batin akan muncul dalam sikap; ketidaksinkronan antara hati – pikiran menyebabkan ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan dengan tindakan.
 Mengasah Keahlian
Dengan kata lain, kesesuaian slogan komunikasi itu bukan tergantung pada kebenaran slogannya. Kenapa? Kalau soal kebenarannya sudah tak perlu diperdebatkan lagi. Cuma, supaya kebenaran itu membawa kebaikan dan kemaslahatan saat dipraktekkan, maka dibutuhkanlah keahlian. Beberapa proses yang penting untuk mengasah keahlian itu antara lain:
 Pertama, kita perlu belajar melihat konteks dan kepentingan. Hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih di tempat kerja, tak akan cukup diakomodasi oleh YA dan TIDAK. Ada kalanya kita harus mengatakan YA (padahal mestinya TIDAK), tapi itu untuk kebaikan jangan panjang. Adakalanya kita harus mengatakan TIDAK (padahal mestinya YA), tapi itu untuk kemaslahatan yang lebih besar. Intinya, kita perlu belajar melihat konteks dan kemaslahatannya, tidak main asal TIDAK atau asal YA.
 Kedua, kita perlu belajar menggunakan cara-cara mengungkapkan isi hati menurut orang yang kita ajak bicara. Di sini, kemampuan empati sangat penting untuk bisa menakar situasi. Secara umum, ada beberapa petunjuk  yang bisa kita pilih untuk mengungkapkan isi hati itu:
·         Ungkapan yang jelas YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini pas untuk orang yang lebih yunior dari kita
·         Ungkapan yang lemah lembut, baik itu YA atau TIDAK. Biasanya ini pas untuk atasan atau senior, lebih berkuasa
  • Ungkapan yang mudah dimengerti antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini untuk orang yang menurut kita awam tentang urusan yang kita bicarakan.
  • Ungkapan dengan sikap menghargai, baik YA atau TIDAK-nya. Biasanya ini untuk orang yang lebih tua, secara pengalaman atau usia
  • Ungkapan yang tegas, antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini cocok untuk transaksi jangka pendek dengan orang yang kepentingannya dengan kita sekedar transaksi.
  • Ungkapan yang baik, antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini pas untuk orang yang sedang susah dan sangat berharap bantuan dari kita.
 Ketiga, kita perlu belajar menggunakan ”Ilmu Titen” (observasi dan menyimpulkan) dari efek kata YA dan TIDAK terhadap orang lain. Nenek moyang kita dulu mengetahui watak alam bukan dari teori, tetapi dari mengamatinya secara intensif dan intim. Cara belajar seperti inipun perlu kita terapkan untuk melatih keahlian dalam mengatakan TIDAK yang baik dengan  meniteni pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain.
 Tapi, hasil Ilmu Titen itu jangan sampai kita pedomani sebagai kebenaran mutlak yang sudah final. Ini malah bisa membatasi diri dengan pengalaman pribadi. Jadikan hasilnya itu sebagai petunjuk yang mengandung sebagian kebenaran saja, namun tetap membuka diri terhadap pengalaman dan perubahan baru. Ini agar kita tetap waspada dan juga tetap dinamis.

 

SUMBER :

Ubaydillah, AN. Jakarta, 30 September 2009. http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial.asp

Salah Kaprah Soal Cinta


Salah Kaprah Soal Cinta


Immature people falling in love destroy each other's freedom, create a bondage, make a prison. Mature persons in love help each other to be free; they help each other to destroy all sorts of bondages. And when love flows with freedom there is beauty. When love flows with dependence there is ugliness
(OSHO)

Kalimat di atas sengaja di tampilkan untuk menimbulkan kontras dan keterkejutan terhadap mereka yang selama ini menganggap cinta sebagai benda statik yang akan terus begitu sepanjang masa, atau sesuatu yang akan di capai ketika menikah. Pengertian ini telah membawa banyak kekecewaan dalam kehidupan berpasangan maupun berkeluarga. Salah satu penelitian yang dimuat dalam berita online memperlihatkan tahun 2010 angka perceraian mencapai rekor tertinggi selama 5 tahun terakhir yakni 285.184 (sumber : Direktur Jenderal Badilag MA, Agung Wahyu Widiana). Berbagai alasan yang melatarbelakangi perceraian, mulai dari faktor cemburu, masalah ekonomi, ketidakharmonisan hingga masalah politik yang rupanya kian turut berkontribusi dalam menceraiberaikan perkawinan.
Selain itu, jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia dari tahun ke tahun juga semakin meningkat, terlihat dari laporan dari berbagai daerah di Indonesia, masing-masing menunjukkan peningkatan signifikan. Misalnya, Kepala Badan Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Keluarga  Berencana (BP3AKB) Jateng Soelaimah mengatakan, kasus kekerasan di 35 kabupaten/kota di tahun 2010 mencapai 2.829 dan hingga semester I/2011 tercatat 1.234 kasus. Di wilayah lain seperti Tegal, Tuban, Makassar, Papua, bahkan Jakarta, tingkat KDRT juga terbilang tinggi. Beberapa alasan yang melatarbelakangi adalah faktor ekonomi, minuman keras, rendahnya tingkat pendidikan serta faktor usia dini. Menurut laporan PLAN, 44% kasus KDRT dengan frekuensi tinggi, dialami wanita yang menikah di usia dini, sementara 56% perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah; dan laporan tersebut mengindikasikan banyaknya perkawinan anak (13 - 18 tahun). Faktor tradisi, masalah social - ekonomi, perilaku seksual dan kehamilan yang tidak dikehendaki, rendahnya pengetahuan tentang reproduksi, rendahnya pendidikan orangtua serta lemahnya penegakkan hukum menjadi persoalan yang memicu terjadinya perkawinan usia dini.  Pertanyaannya, apa sebenarnya yang terjadi ketika mengawali sebuah hubungan ? apakah hubungan yang dilandasi oleh cinta sudah pasti akan abadi ? Apakah hubungan yang tidak abadi karena tidak ada cinta ? pertanyaan semacam ini kerap muncul dalam pemikiran maupun asumsi-asumsi. Marilah kita telaah bersama.

Ada beberapa jenis cinta di dalam berbagai versi dan definisi para pakarnya yang dapat di unduh maupun di pelajari lewat berbagai buku. Oleh karenanya, dalam artikel ini kita tidak akan membahas jenis cinta, maupun manifestasinya,  namun akan membatasi pembahasan pada persoalan problem perkawinan.   

It needs love to make to make two become one
Kalimat di atas bisa benar, tapi bisa pula keliru jika mengartikannya secara sempit dan dangkal. Sebab, makna cinta tidak berhenti pada rasa senang terhadap sesuatu, seseorang maupun lawan jenis (pacar, calon suami atau calon istri). CS. Lewis mengkategorikan perasaan "senang dan suka" di tingkat terbawah dari derajat intensitas cinta; rasa senang dan suka ini muncul karena di antara kedua pihak ada kesamaan, sama-sama senang nonton bioskop, menyukai group musik yang sama, mempunyai tempat makan favorit yang sama, sedang menyukai kegiatan yang sama, entah itu demonstrasi atau sama-sama ikut menjadi pendukung sebuah gerakan. Kekuatan dan durasi perasaan suka ini sangat lemah karena sifatnya yang situasional dan temporer; dan hubungan yang terbentuk atas dasar perasaan suka ini pun rentan persoalan karena tidak punya fondasi yang kuat. Sementara, banyak orang yang mengambil keputusan untuk menikah atas dasar kuantitas kesamaan, karena rasionalitas kedua pihak terhalang oleh emosi jiwa serta fantasi fairy tale "happily ever after".    
Selama ini banyak orang umumnya menganggap cinta adalah sebuah produk pabrikan dan bersifat one for all. Ketika diantara kedua manusia ada cinta, maka semua persoalan selesai atau akan selesai. Sayangnya banyak pula yang lupa bahwa definisi cinta yang digunakan sebagai acuan penilaian kualitas dan masa depan hubungan, adalah perasaan "suka dan senang". Bagi Scott Peck dalam bukunya The Roadless Travelled, cinta bukanlah perasaan, melainkan tindakan nyata "The will to extend one's self for the purpose of nurturing one's own or another's spiritual growth". Motivasi dan tindakan untuk membuat diri sendiri dan orang lain yang "dicintai" bertumbuh, menjadi pribadi yang punya identitas sejati, dan menggenapi panggilan hidupnya, itulah yang dinamakan cinta. Dan karena itulah, cinta tidak mungkin bersifat mengekang, menjajah, menindas, membatasi, memanipulasi, menghilangkan kemerdekaan apalagi menghilangkan kemanusiaan orang yang dicintai. "It is about giving the other person what they need to grow".
Kedewasaan Pribadi, Kedewasaan Cinta
Dari definsi cinta Scott Peck terlihat bahwa orang yang bisa mencintai, tentunya bukan orang yang masih terjebak dalam egosentrisme dan egoisme namun sudah mampu berkeinginan dan berbuat untuk orang lain. Apabila orang menyatakan cinta, namun dalam tindakan sehari-hari, banyak menuntut, mengekang, melarang, memenjarakan kemanusiaan pasangan, maka itu bukanlah cinta, namun conditioning/pengkondisian agar orang memenuhi kebutuhannya, entah itu kebutuhan fisik (makan, minum, sexual, dsb) maupun psikologis (ingin di perhatikan, diakui, dikagumi, di puja, dsb). Di sini lah banyak terjadi kesalahkaprahan, ketika pasangan bersikap nrimo, diam saja bahkan semakin takut dan taat serta semakin "menderita demi cinta". Kesalahkaprahan ini membuat banyak penderitaan panjang terutama di sisi wanita (ada pula pria), tidak hanya menghancurkan perkawinan itu sendiri, namun menghancurkan pula jiwa-jiwa dan setiap pribadi yang ada di dalamnya, seperti dirinya sendiri serta anak-anak (bagi yang telah punya anak).  Cinta tidak menjajah.
Oleh karena cinta bukanlah romantisme perasaan belaka, maka kedewasaan seseorang akhirnya berperan dalam menentukan seperti apa cinta yang ia berikan kepada orang lain, baik itu pasangan maupun komunitasnya. Semakin dewasa seseorang, maka semakin dewasalah cinta-nya; sehingga untuk menghasilkan cinta yang dewasa dan buah-buah cinta yang mendewasakan diri sendiri dan orang lain, maka seseorang harus melalui proses pendewasaan. Scott Peck mengatakan dalam The Roadless Travelled, seseorang menjadi dewasa dan matang, melalui proses yang bertahap dan semua itu menuntut latihan disiplin diri dalam beberapa elemen, yakni :
1. Delaying gratification, menunda  kepuasan sesaat / saat ini demi kebaikan di masa mendatang. Istilah Indonesia, sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Secara kongkrit, setiap keputusan baik itu berpacaran (dengan segala tingkatannya dan tindakannya) dan berkeluarga, didasarkan pada pertanyaan apakah yang menjadi motivasinya. Apakah karena ingin segera memuaskan apapun desakan yang ingin di puaskan atau karena ada alasan rasional lain yang memang baik dan bermanfaat besar bagi kedua belah pihak (yang menjadi ukuran adalah menumbuhkan dan mendewasakan kedua pihak).
2.  Acceptance of responsibility, bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan diri sendiri. Apa yang termasuk di dalamnya adalah menyadari bahwa setiap orang punya andil dalam menciptakan problem yang sedang dihadapi, sudah dialami atau akan terjadi. Semua berawal dari pilihan sikap diri. Padahal umumnya, ketika terjadi masalah cenderung menyalahkan orang lain, persoalan, situasi dan kondisi daripada introspeksi diri.  Konsekuensi logisnya, menganggap diri sebagai korban keadaan yang tidak berdaya untuk mengambil alih kendali hidup. Amat disayangkan karena sebagian orang melihat proses ini sebagai suratan takdir dan nasib bahwa ia terlahir untuk melayani dan menderita demi orang yang dikasihi. Padahal, takdir cinta tidaklah demikian. Cinta itu membebaskan dan memerdekaan, seperti ungkapan Oslo, seorang filsuf kontemporer,  di bagian paling atas artikel ini.
Menerima tanggung jawab di sini mempunyai konsekuensi logis, untuk membuat setiap pribadi berhati-hati, jangan sampai aplikasi dari memerdekakan diri menciptakan penjajahan bagi pribadi lainnya. Mengutip Erich Fromm yang mengatakan, no freedom without responsibility, tidak ada kemerdekaan tanpa tanggung jawab. Jika ingin berpacaran atau menikah, ingin bercerai atau bahkan ingin bertahan dalam problema yang ada, maka setiap pemikiran, keputusan dan tindakan harus dipikirkan sejauh mana kita mampu bertanggung jawab atas implikasinya, baik bagi diri sendiri, keluarga, orangtua, anak, pasangan, mertua, tempat kerja kita, dsb.  
3. Dedication to the truth, selalu mencari dan menemukan kebenaran. Mabuk kepayang maupun kepahitan, bisa menjadi penghalang kejernihan dalam melihat kenyataan dan kebenaran. Konsep diri yang negative (menganggap diri tidak baik, buruk rupa, banyak dosa, tidak berharga, tidak cantik, tidak beruntung, dsb) juga menjadi tembok penghalang realitas karena kenegatifan itu sudah mewarnai cara pandang kita terhadap dunia.
Kasus KDRT yang berkepanjangan membuat pihak korban percaya bahwa dirinya pantas dan layak di hina dan disia-siakan karena tidak berharga. Oleh sebab itu korban tidak berani melepaskan diri dari abuser  karena tidak yakin ada tempat yang bisa menerima kehadirannya,  atau tidak yakin dirinya  kuat hidup tanpa abuser.  Scott Peck mengatakan, jika jiwa manusia ingin bertumbuh, jauhkan diri dari prejudis, stereotype, prasangka negatif yang mendistorsi kebenaran. Sikap terbuka, berani menatap kenyataan, bahkan menerima bahwa ada kebenaran dan fakta lain yang bisa meruntuhkan keteguhan hati dan keyakinan  - mengapa kita takut jika hal itu justru memerdekakan kita. The truth will set you free.
4. Balancing & flexible, menjadi lebih seimbang dan fleksibel. Kedewasaan dan kematangan akan dialami ketika diri kita maju. Sebaliknya, segala sesuatu yang terlalu rigid, baik dalam soal berpikir, berkeyakinan maupun berelasi, menghambat kemajuan diri sendiri dan orang lain serta hubungan itu sendiri. Bayangkan saja hubungan yang penuh dengan ketakutan, peraturan, larangan, batasan, kecurigaan, pengekangan, penindasan, tidak akan menumbuhkan sesuatu yang baik; yang muncul adalah hal negatif, seperti ketakutan, kemarahan, kepahitan, kebosanan, ketidakpuasan, kesepian dan kekosongan yang melanda jiwa. Tidak akan ada kebahagiaan dalam relasi yang rigid, namun sama halnya dengan relasi yang tidak berakar dan berkomitmen, karena keduanya tidak berdasarkan cinta, namun ketakutan.  
Kembali pada persoalan cinta yang berakhir duka nestapa, apalagi tragedi, dapat disimpulkan kondisi itu disebabkan ketidakmatangan pribadi yang menganggap bahwa memiliki, mengupahi, meladeni, membayari, menafkahi, adalah cinta dan bukti cinta itu sendiri.  Padahal, silogisme-nya tidak demikian. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ungkapan cinta dari Ibu Theresa
It is not how much we do,
but how much love we put in the doing.
It is not how much we give,
but how much love we put in the giving

Jadi apakah melakukannya ini semua karena cinta? Apakah yang dilakukan selama ini sudah memerdekakan & menumbuhkan diri kita dan orang yang kita cintai ?

SUMBER :
Jacinta F. Rini. Jakarta, 16 November 2011 . http://www.e-psikologi.com/epsi/individual.asp

Global Warning


Global Warning

Bahaya Riil Di Sekitar Kita
Ancaman global warming adalah nyata. Penceramahan seperti ini tak arang sering nampak menjadi contoh histrionik atau hiperbola yang disamarkan. Seperti siaran di radio kerapkali kita dengar: peace on earth of earth in pieces. Apakah ancaman karbon sebegitu berbahayanya? Kita sedang berada di persimpangan di mana proses ramifikasi dari apa yang kita lakukan menjadi penentu kehidupan generasi selanjutnya.  Perhelatan masyarakat dalam mengantisipasi hal ini tidaklah diragukan lagi. Yang menjadi pertanyaan utama adalah apakah penduduk Indonesia telah siap untuk mengikuti trend "green life".

Karbondioksida (CO2)
Besarnya jumlah emisi yang dapat ditolerir oleh ibu pertiwi telah dikalkulasi. Jurnal Nature memperhitungkan sebanyak 1 trilyun ton CO2 dapat kita biarkan terlepas ke udara selama periode tahun 2000 - 2050 supaya didapatkan 75% kemungkinan temperatur global rata-rata dapat dipertahankan dalam 2 derajat C level pre-industrial. Ini adalah batas keselamatan, di mana melebihinya dapat menyebabkan pergantian iklim (climate change) yang irreversibel.

Sampai tahun 2006, dunia telah menggunakan sekitar 234 bilyun ton dari anggaran yang telah dikalkulasi. Hal ini meninggalkan kita dengan sisa sekitar 760 bilyun ton. Apabila emisi per tahun meningkat sebesar 3,5% maka kita akan telah mengeluarkan sebanyak 1 trilyun ton CO2 sampai dengan akhir tahun 2020. Pertumbuhan ini tidaklah sesuai dengan perhitungan dan kita akan melepaskan surplus CO2 ke atmosfir. Apabila hal ini terjadi, temperatur rata-rata global akan meningkat setidaknya 6-7 derajat C dalam abad ini, apalagi di kutub.

CO2 adalah gas tidak berbau, tidak berwarna yang bersifat sedikit asam dan tidak dapat terbakar. Akumulasi CO2 di atmosfir, seperti yang telah kita ketahui, akan menyebabkan munculnya efek greenhouse. Hal ini akan berakibat panas yang ada di dalam bumi tidaklah bisa keluar tapi panas dari luar bumi akan tetap bisa mempenetrasi lapisan bumi. Panas yang terkumpul akan menyebabkan perubahan iklim dan bahaya laten yang mengancam adalah lelehnya es di kutub.

Spekulasi mengenai efek CO2 terhadap lingkungan sudah dimulai sejak abad ke 19. Ilmuwan kenamaan seperti Arrhenius dan Chamberlain telah memprediksikan pergeseran gradual dari temperatur iklim setelah jutaan tahun dikarenakan timbunan gas-gas greenhouse di dalam bumi. CO2 memiliki andil kontribusi relatif sebesar 60% dari efek greenhouse saat ini, sedangkan sisanya adalah CFC (Chlorofluorocarbon), ozone, nitrous oxide dan methane.

Black Carbon
Selain CO2, karbon hitam atau black carbon yang adalah hasil pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil, biofuel dan biomass dalam bentuk karbon murni terikat senyawa yang dapat meningkatkan panas bumi dengan penyerapan panas di atmosfir. Karbon hitam dapat mengurangi kemampuan reflektifitas es dan meningkatkan absorpsi sinar matahari. Hal ini akan mengkontribusi kepada meningkatnya suhu udara di dalam bumi. Karbon hitam menduduki posisi nomor dua setelah CO2 dalam meningkatkan global warming. Namun usia karbon hitam di atmosfir hanya beberapa hari sampai minggu, di mana usia CO2 di atmosfir bisa mencapai 100 tahun.

Kendala dalam menangkal Global Warming
Global Dimming
Suatu fenomena yang diperkirakan dapat menangkal global warming dinamakan global dimming. Global dimming adalah peristiwa meningkatnya konsentrasi atmosferik aerosol-aerosol buatan manusia seperti aerosol sulfat yang dapat mempengaruhi sifat-sifat awan dan menghalangi sinar matahari mencapai permukaan bumi. Fenomena ini muncul sebagai produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil. Sulfur dioksida dan nitrogen oxida yang dilepaskan ke udara bereaksi dengan awan dan merefleksikan pancaran sinar matahari yang hendak masuk ke bumi. Efek ini secara ironis menangkal efek global warming. Contoh kegunaan global dimming antara lain di musim panas, di mana banyak orang tua meninggal karena angin musim panas dan penurunan suhu udara sangat diharapkan. Di lain pihak, global dimming telah menyebabkan banyak kematian di Ethiopia pada tahun 1970 disebabkan oleh kekeringan. Kekeringan ini muncul dikarenakan laut di bagian hemisfer utara bumi tak cukup panas untuk formasi hujan.

Semenjak tahun 1970, telah diamati adanya reversal dari efek global dimming karena negara-negara dengan aktif menyikapi polutan-polutan yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Fenomena global dimming adalah suatu pertanyaan bagi para ilmuwan. Awan yang mengandung sulfur dioksida yang ditimbulkan global dimming dapat menangkal sebesar 50% dari global warming yang disebabkan gas-gas greenhouse. Namun, perlu diingat, selain penurunan suhu, global dimming juga mempunyai dampak samping yaitu hujan asam yang dapat menimbulkan efek yang berbahaya bagi tumbuhan dan binatang laut, yaitu kematian karena keadaan fisiologis yang tidak sesuai.

"Perseteruan" antara gas-gas greenhouse yang menyebabkan global warming dan debu-debu vulkanik serta aerosol troposferik yang menyebabkan global dimming adalah salah satu perdebatan yang tak kunjung berakhir. Namun para ilmuwan juga mengatakan bahwa global dimming hanya menutupi sementara bahaya sesungguhnya dari global warming.

Efek Rumah Kaca
Tidak hanya gas-gas greenhouse yang mengkontribusi kepada global warming, namun elemen pemanas itu sendiri, yaitu matahari, juga tentunya memegang peranan penting dalam hal ini. Variabilitas sinar matahari yang dipengaruhi berbagai faktor, yaitu variabilitas TSI (Total Solar Irradiance) menentukan keadaan iklim. Salah satu faktor penentunya adalah siklus-solar-11-tahun ato sunspot cycle yang merupakan fluktuasi periodis dari emisi sinar matahari yang sampai ke bumi. Terdapat juga faktor-faktor aperiodik. Namun penelitian yang dilakukan mulai dari akhir abad lalu menunjukkan bahwa peranan matahari sendiri dapat dibilang kecil apabila diperbandingkan dengan aktifitas manusia yang berkaitan dengan emisi gas-gas greenhouse. Simulasi yang pernah dilakukan antara lain menyebutkan peranan debu vulkanik dan aerosol troposferik dalam membalikkan efek yang ditimbulkan oleh gas-gas greenhouse, global dimming, hanya menyelubungkan efek yang sebenernya dari gas-gas greenhouse. Efek rumah kaca dapat menghancurkan keseimbangan ekosistem apabila tidak ditangani.

Sudah mulai banyak organisasi yang berkecimpung di dalam penanganan global warming. Pemerintah-pemerintah dari berbagai negara di bawah UN juga aktif dalam menangani global warming. Hal ini tercermin dari perjanjian Cancun yang disepakati pada tanggal 11 Desember 2010. Signifikansi perjanjian ini terletak pada fakta bahwa perjanjian Cancun adalah usaha kolektif terbesar yang dilakukan untuk mengurangi emisi dalam konteks pencegahan pergantian iklim. Di dalamnya diatur usaha pemerintah 193 negara dalam menangani pergantian iklim bagi negara berkembang dalam aspek finansial, teknologi dan dukungan pembangunan kapasitas. Objektif dari perjanjian ini adalah supaya kenaikan suhu global dapat ditekan di bawah dua derajat celcius.

Gaya Hidup
"Green life" atau skema hidup hijau telah menjadi suatu trend yang niscaya akan memberikan dampak positif bagi lingkungan. Orang-orang meningkatkan keperdulian mereka terhadap hal-hal kecil yang mereka lakukan sehingga apapun yang mereka lakukan sebisa mungkin mempunyai dampak yang positif terhadap lingkungan. Contoh yang paling jelas adalah penggunaan barang-barang biodegradable seperti cangkir yang bisa terdaur ulang dan kertas daur ulang untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan kesadaran emisi.

Dalam memperhatikan hal-hal yang menunjang skema hidup hijau, kita senantiasa terbentur dengan masalah biaya. Penggunaan barang-barang biodegradable tak ayal memakan ongkos yang terkadang bisa jauh lebih mahal daripada penggunaan barang normal. Kenyataaan ini membuat pengejahwantahan hidup hijau di Indonesia menjadi lebih sulit karena besarnya gap dalam strata sosial yang ada sekarang ini. Bagi kalangan atas, menunjang hidup hijau tidaklah menjadi suatu masalah, namun bagi kalangan menengah ke bawah dapat menimbulkan pergolakan batin terhadap perlunya penerapan skema hidup hijau tersebut.

Penggunaan barang-barang biodegradable dapat mengkontribusi dalam aspek pelepasan CO2 ke udara yang ditimbulkan oleh pembakaran sisa sampah barang terkonsumsi. Apabila sampah atau barang sisa penggunaan tidak perlu dibakar, maka sampah cukup dibiarkan terurai pada tempat yang telah disediakan.

Keperdulian masyarakat terhadap hal ini pun seringkali tidak cukup untuk menciptakan adanya partisipasi aktif. Isu global warning terkadang dirasa sangat abstrak dan terlalu jauh untuk dapat diraba. Artis-artis dari negara-negara Skandinavia seperti Sweden, Denmark kerapkali mengadakan pameran-pameran visual untuk berusaha mendekatkan masyarakat dunia dengan isu global warming. Hal ini sudah mulai dicanangkan di Indonesia walaupun partisipasi aktif masyarakatnya maupun gaung kegiatan di antara besarnya populasi Indonesia belumlah terasa.

Siapkah kita ?
Dalam keseharian kita, acapkali kita mengabaikan pelbagai hal-hal kecil yang mengingatkan kita akan waktu sebelum globalisasi industri dimana belum banyak kendaraan bermotor dan lingkup industri yang menjadi sumber emisi karbondioksida. Dalam menggunakan benda-benda mekanik seperti rautan pensil berkaca ataupun kegiatan bersepeda kita diingatkan bahwa polusi lingkungan bermula dari hiperbolisasi kegiatan industri. Namun benda-benda yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil industri. Suatu pertanyaan besar mengenai kemajuan suatu bangsa apabila diukur dari pesatnya laju industri adalah secara tak langsung deteriorasi yang perlahan. Kesadaran kita sebagai anggota dari masyarakat sangatlah dituntut. Seringkali kita menganggap sepele keadaan alam sekitar kita. Hutan ditebang untuk kemajuan industri, lahan bekas pertambangan dibiarkan begitu saja.  

Apa yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan mental untuk pada saatnya mengkontribusi kepada inisiatif-inisiatif yang diambil oleh mayoritas. Hal-hal seperti bike to work dengan kesadaran mengurangi emisi demi udara yang sehat, pembuatan lubang biosfer untuk mengolah sampah organik rumah tangga menjadi pupuk adalah contoh positif masyarakat menuju skema hidup hijau. Apakah kita secara mental telah siap untuk merubah sikap dan pola hidup dalam menghadapi global warming ?

Apa yang bisa kita lakukan untuk Ibu Pertiwi?
The way we think about her
Apakah ibu pertiwi itu bagi kita? Di suatu tempat di mana kita lahir hidup dan mati, adakah kita perduli?

The way we feel her
Adakah keterikatan batin antara kita dengan tempat tinggal kita?Apabila dibuat perombakan mendadak terhadap daerah rumah tinggal anda, apakah perasaan anda akan tersentuh?

The way we live on her
Sudahkah kita memperhatikan cara kita bersikap di atas ibu pertiwi? Apakah balasan yang setimpal yang dapat kita beri baginya?

Pertanyaan-pertanyaan kontemplatif di atas adalah cara kongkrit kita bersiap diri. Menyimak pikiran para petinggi dunia, kita dapat memahami adanya kekhawatiran para ahli terhadap masalah ini. Dengan meningkatnya pembelajaran kepada publik diharapkan kekhawatiran ini akan berkurang dan masyarakat akan dapat menerima bahwa bahaya global warming tidaklah dilebih-lebihkan. Mengikutsertakan pola pikir skema hidup hijau dalam keseharian kita semua baik generasi muda mau pun generasi tua akan secara tidak langsung memajukan modernisasi cara pikir karena ke arah situlah trend masa depan kita menuju.

SUMBER   :
Raymond Mulyarahardja. Jakarta, 23 Maret 2011. http://www.e-psikologi.com/epsi/lingkungan.asp