Moral Exclusion dan Rokok
Terlalu Permisif
Masyarakat Indonesia sangat permisif
dalam masalah merokok, meskipun telah memiliki Pasal 24 PP no.81/ 1999 yang
menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja
harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok, dan Peraturan Pemerintah
no.38 th.2000 yang menyatakan bahwa rokok tidak boleh diiklankan di media
elektronik antara pukul 05.00-21.30 WIB, (Kompas,2001).
Seorang konsultan WHO dan Australia, Dr.
Matthew Allen, pada bulan April 2001 menyatakan bahwa tingginya tingkat rokok
dan penerimaan terhadap rokok pasif merupakan hambatan utama dan pertama bagi
penanggulangan masalah rokok di Indonesia. Allen menyatakan terdapat 7 (tujuh)
hambatan bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia, yaitu;
1. Tidak adanya pengetahuan di kalangan
perokok tentang resiko merokok
2. Tidak cukupnya pengetahuan badan-badan
pemerintah dan LSM, yaitu pengendalian rokok bagi kesehatan dan perekonomian,
serta taktik-taktik menyesatkan yang dipakai oleh industri rokok
3. Tidak adanya komitmen oleh para
politisi dan departemen pemerintah
4. Adanya kerancuan wewenang Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Departemen Kesehatan dan Departemen
Kesejahteraan Sosial
5. Kuatnya sektor industri rokok
6. Desentralisasi dan tidak adanya
kerangka kerja di daerah untuk mengimplementasikan perangkat pengendalian rokok
7. Tak ada dana untuk membuat kampanye
tandingan dan program pengendalian lainnya. (Kompas, 2001)
Melihat perkembangan kebiasaan merokok
Indonesia yang semakin lama semakin parah, nampaknya harapan untuk
menanggulangi masalah ini semakin tipis, namun sebenarnya hal tersebut bukan
tidak mungkin dilakukan karena beberapa negara telah menerapkan aturan cukup
keras baik bagi para perokok maupun industri rokok. Singapura menerapkan ruang
publik sebagai kawasan bebas rokok, mesin penjual rokok dinyatakan ilegal dan
melarang perusahaan rokok menjadi sponsor even publik (Oskamp & Schultz,
1998)
Negara-negara Unieropa mencanangkan
kampanye anti rokok dengan slogan; "Feel Free to Say No!" yang
diluncurkan bertepatan dengan momen piala dunia 2002 serta didukung sejumlah
pemain bola terkenal seperti Luis Figo, Zinadine Zidane, Paolo Maldini,dll.
Sementara dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau sedunia (31 Mei 2002), Meksiko
mengumumkan akan melarang semua iklan rokok dari radio dan televisi mulai 2003.
Secara perlahan-lahan penjualan rokok di toko-toko obat akan dikurangi dan
peringatan bahwa bahaya rokok akan diwajibkan untuk dipasang di depan, bukan di
belakang seperti sekarang. (Kompas, 2002)
Jurus Kelit Industri Rokok
Bagaimana perokok dan industri rokok
dapat terus "hidup" dan berkembang mengambil ruang gerak dan nafas di
Indonesia ?
Moral Exclusion
Jika moral berada dalam ruang keadilan, moral
exclusion sangat berbeda (kontras), yang merupakan rasionalisasi,
jastifikasi kesalahan atau sesuatu yang membahayakan. Dalam konflik lingkungan,
moral exclusion sulit untuk dideteksi, hal ini disebabkan juga oleh adanya
dukungan konvensi sosial. Analisa gejala moral exclusion dalam konflik
lingkungan mengindikasikan bahwa moral exclusion dapat digolongkan dalam
tiga bentuk penyangkalan (denial); simptom moral exclusion,
yaitu;
1. Outcome Severity (hasil rumit)
a. disbenefit (kerugian berat);
pihak tertentu (negara atau perusahaan) menolak penanggulangan masalah tertentu
dengan berkelit hal tersebut dapat mendatangkan kerugian besar
b. sains; memanfaatkan sains untuk tujuan
tertentu, menjadikan sains sebagai alasan, misalnya perlunya waktu untuk
meneliti masalah tertentu.
2. Stakeholder
a. outsider; menempatkan diri pada
pihak lawan (contoh; menganggap peraturan sebagai lawan)
b. ekstrimis; pihak yang menetang sesuatu
secara radikal
3. Keterlibatan Diri
a. self exclusion; mengelak
tanggung jawab personal (contoh; "Bukan hanya saya yang merokok di ruang
ini.")
b. Reluctant participation; pihak
tertentu menolak berpartisipasi dalam penanggulangan masalah polusi udara namun
tetap menggunakan alasan kemanusiaan dalam usahanya (contoh; industri rokok
menjadi sponsor even olahraga) (Opotow & Weiss, 2000)
Riset dalam Psikologi Sosial Seputar Perilaku
Merokok
Banyak riset perilaku merokok dilakukan
dalam psikologi sosial, Surgeon General Report 1964 menyatakan bahwa faktor
psikologi merupakan faktor krusial untuk memahami rokok.
Tahapan seseorang menjadi perokok tetap (Laventhal & Cleary;1980, Flay;1993);
1. Persiapan; sebelum seseorang mencoba
rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan
bayangan tentang seperti apa rokok itu.
2. Inisiasi (initiation); reaksi tubuh
saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. (Sayangnya
hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi
terhadap rokok)
3. Menjadi perokok; melibatkan suatu
proses "concept formation" , seseorang belajar kapan dan
bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya.
4. Perokok tetap; terjadi saat faktor
psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku
merokok.
Faktor Psikologis;
1. Kebiasaan (terlepas dari motif positif
atau negatif)
2. Untuk menghasilkan reaksi emosi
positif (kenikmatan, dsb)
3. Untuk mengurangi reaksi emosi negatif
(cemas, tegang, dsb)
4. Alasan sosial (penerimaan kelompok)
5. Ketergantungan (memenuhi keinginan/
kebutuhan dari dalam diri) (Oskamp & Schultz, 1998)
Proses Biologis
Nikotin diterima reseptor
asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur
adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem
dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih
cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan
mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang
mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang
sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok
sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin.
Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang.
(Mutadin, 2002)
Lemahnya kesadaran dan pengetahuan
perokok
Kompleksnya permasalahan rokok di dunia
termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan
memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even
olahraga. Baik industri rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut
sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi, jastifikasi atau dengan
bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka.
Dengan begitu, mereka juga menyamarkan "kesalahan" dan
"penyebaran racun" yang dilakukan.
Industri rokok mempunyai kekuatan
finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian rupa
sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak
iklan rokok melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan
ber-safari di alam terbuka, sampai dengan suasana club disko.
Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan
yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan, sementara rokok itu sendiri
menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok
menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan
beasiswa bagi pelajar berprestasi, sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau
tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut merupakan
bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.
Sementara industri rokok bersembunyi
dibalik berbagai slogan "mulia" nya, perokok pun tidak ketinggalan
menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi
perokok untuk berkelit, "Tempat umum kok, saya punya hak," dan
ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga mempunyai
hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.
Tempat Merokok = Mencerminkan Pola
Perilaku Perokok
Tempat merokok juga mencerminkan pola
perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok,
kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam
merokok.
1. Merokok di ruang publik
- Kelompok homogen (sesama perokok);
Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking
area.
- Kelompok heterogen (merokok ditengah
orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan,
kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela
dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar "racun"
pada orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat bersifat pribadi
- kantor atau kamar tidur pribadi;
tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa
gellisah yang mencekam
- toilet; tergolong orang suka
berfantasi. (Mu'tadin,2002)
Perilaku industri rokok dan perokok yang
merugikan orang lain seharusnya dapat diminimalisasi seperti di beberapa negara
seperti Singapura, Meksiko dan Unieropa, namun agaknya pemerintah masih
"setengah hati" dalam menyelamatkan nyawa orang banyak.
Salah satu alasan utama pemerintah tidak
melarang keras rokok adalah karena pertimbangan besarnya kontribusi dari pajak
industri tersebut. Amerika Serikat (1990) mengumpulkan lebih dari 4 $ milyar
dari pajak rokok dari 16 sen pajak dalam tiap pak (20 batang), Perancis (1992)
mengumpulkan 2.3$ milyar dari pajak rokok (Oskamp & Schultz,1998)
Indonesia sendiri telah mempunyai
peraturan tentang rokok, kini tergantung pada pemerintah untuk disiplin dan
konsisten menjalankannya, disamping usaha masyarakat untuk lebih menggaungkan
kampanye anti rokok serta sikap asertif (tegas) masyarakat terhadap perokok
terutama di ruang publik. Perlu upaya ekstra keras dan strategi yang tepat
untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa merokok itu memang hak asasi bagi
perokok, namun udara bersih yang tak dicemari asap rokok juga adalah hak asasi
manusia (HAM) (Kompas, 2001)